Sunday, June 3, 2012

Puisi Kering

Puisi Kering (Gadis di Bawah Pohon Ara)
 
Kering
Gadis daun yang terhempas
melayang jatuh ditampar angin
batu-batu menjepit sampai kais tongkat merobek urat
wajah hijau sisa memburat dalam kuning pucat ;
tak kembali walau air dibasuhkan

Gadis daun gugur dalam janji tak bermusim
tiap kali ibu memanggil
;saat senja memandang sungai
siapa rindu
mengering airmata dalam derak tipis daun-daun
itukah aku dalam tidur ;
dukaku dalam teriak damai yang kering

(cok sawitri, peurelak, aceh 2008)

Bila Hati Meminta Sepi

kini aku sendiri
menerjah hidup ini
menerjah alam realiti
menerpa dunia ku sendiri
sepi
wahai gadis misteri
hulurkan tanganmu
berikanlah hatimu padaku
aku mengenangmu
sejak pertemuan kita dulu
sepi
hati ini telah meminta
untuk kata bicara yang terlafaz
agar engkau dapat menerima
manusia kesepian


SEPI
..di dinding itu..
..angin sepi menerobos masuk ke seluruh ruang yang ada..
..di situlah ingin ku perlihatkan kuasaku akan diriku..
..di sela waktu..
..ku rasakan desah desuh merintih dalam tubuh yang lirih..
..seperti inikah diri yang rindu..
..tetap saja dibuat segalanya menjadi kosong..
..mata hati menjadi jawab dalam sudut

Tak Terkira Kuyupnya Aku
tak terkira kuyupnya mata
saat langkah hari berlalu
membawamu

setangkai daun jatuh
sembilulah aku
mestinya kukatakan padamu
jangan pergi, duduklah di sini
izinkan aku bacakan satu puisi
tentang mimpi yang mencuri lelapku
pada senja yang muram
entah jemarimu atau aku
memetik semua kembang
lalu harum tubuhmu mendekap erat
melekat dikulit lengan
menjatuhkan hatiku; tak terkira kuyupnya

saat langkah hari berlalu
membawamu
entah jemarimu atau aku
kembali memetik setangkai kembang
harumnya melimbungkan aku.

(ubud, hari ketiga, cok sawitri, 2009)

Surat Cinta

bila kau baca surat ini,
ingatlah gunung yang menjulang
sepi sendiri dipayungi langit
hilang kata, hilang lenguh
tak terjangkau gumam angin

bila kau baca surat ini,
ingatlah kisah kematian kama
melepas panah bunga
luluh mengabu kerena kekasihnya tiba
ah, walau semua musim meratapi
bahkan musim semi berlinang airmata
tak juga mekar kembali

bila kau baca surat ini,
ingatlah kisah lebah-lebah yang meratapi daunan
kerena tak ada kuncup memberi madu
seperti serangga malam mengisaki purnama
atau jerit perih daun digores duri
duhai, itulah aku dihadapanmu

kini dalam suratku ini
biarkan aku menegak
seperti kedasih di bulan penghujan
meninggalkan lirih pinangan sebelum kematian
siapa di sudut hatimu
getar jemarimu menjelmakan desau
merambat ke nafas hari
jadi jawabanmu…..

duhai,
saat usai engkau baca surat ini
menegak aku sebagai kedasih di bulan penghujan
hatiku bersiap jadi tujuan bidikan
datanglah, semua panah bunga jadikan aku abu rindu
kalaulah menjelma panah-panah cahaya
bukankah engkau tetap bayangan?
tak terjangkau sepinya gunung
tak terbujuk ratapan hujan
tak mengiba pada perih daunan
bila kau baca surat ini,
bila kau baca surat ini…
angin telah membawaku pergi
sebab getar jemarimu
menjadikan aku abu dalam kertas yang engkau buang
menjadikan aku nelangsa dalam kecintaan
menjadi abu yang tertaburkan…

(batu bulan, cok sawitri, 2009)

No comments:

Post a Comment